Ini lagi dan ini lagi. selalu lagi, berulang kali berulang lagi.
Bingung ya? saya juga bingung mau nulisnya, saya peduli karena itu menyangkut saya, wajar dong..setiap orang pasti punya sifat keakuan. Tapi, ketika kita menjadi berdua, semua urusan tak lagi soal diri sendiri, seyogyanya sih..apa-apa didiskusikan, dirembuk, dikomunikasikan, karena satu hal, pasti --mau tak mau-- tersangkut paut dengan hal lainnya. Mau gak mau, hal yang menyangkut soal kita, berpengaruh pada soal kami. Itu ketika kita tak lagi sendiri.
Masalahnya... siapkah kamu dengan kondisi itu? kondisi yang lagi-lagi mau gak mau pasti kamu temui. Yang mungkin awalnya tidak menganggu, namun seiring berjalannya waktu menjadi semacam duri dalam daging ? salah satu konsekuensi ketika kita memilih berpasangan alih-alih hidup sendirian. Seperti yg saya bilang tadi -dan saya tegaskan lagi-, semua hal tak melulu soal kamu sendiri saja.
Kamu paham ? ketika saya bilang, "menurut saya, kamu tuh punya pasangan karena kamu mau, bukan karena kamu butuh", kala itu kamu hanya diam saja, kamu ngerti? atau kamu diam karena menghindari perdebatan yang tidak pernah ada jalan keluarnya seperti yg sudah-sudah?.
Saya capek marah-marah, saya udah malas dan gak bersemangat soal apapun yang menyangkut saya dan kamu. Saya pikir...kamu hanya butuh diri kamu sendiri.
Saya gak peduli lagi, sama apa yang terjadi sebenarnya. Saya gak lagi peduli sama apa yang kamu bilang pada mereka, soal kita, saya pun gak peduli sama apa yg kamu bilang ke saya, mana yang saya percayai, mana yang benar, atau apakah semua itu tadi adalah soal yg sama atau tidak.
Ketika saya mulai penuh dengan pertanyaan soal kamu, soal kita, apa masalahnya. saya ingin berlalu, jauh. saya gak merasa punya kewajiban untuk memenuhi tuntutan bercerita meskipun selama ini, itulah yg selalu kamu tuduhkan, bahwa saya terlalu mengeluh pd orang lain soal kita, bahwa saya menjelek-jelekkan kamu.
Kamu gak pernah tahu, bahwa hal yg tampak remeh seperti menunggu itu bisa merusak hari dan perasaanmu. waktu tidak menunggu, ia terus berjalan, dan saya sudah membuang-buang begitu banyak waktu untuk menunggu kamu.
Kini, saya sudah teramat kelelahan, keseringan menunggu, menunggu kamu. saya gak sanggup lagi berkompromi dengan kebiasaan jelekmu yang satu itu, yg kerap dan selalu bikin saya lesu. Saya pun sudah sampaikan, marah pun saya malas, sudahlah...
Kemudian hari ini dan kemarin kamu menghilang, pergi, menjauh, menghindar dalam diam.
Saya ingat kamu teriakkan emosimu lewat sebuah pesan singkat ke ponsel saya dua hari yang lalu. "saya merasa terkekang, saat saya bersama mereka di luaran sana, kamu tau? saya merasa kamu kejar-kejar!"
Saya mengerti. ketika sesuatu harus berakhir, tak perlu pikirkan apapun lainnya. Saya mengerti dengan baik.
Bingung ya? saya juga bingung mau nulisnya, saya peduli karena itu menyangkut saya, wajar dong..setiap orang pasti punya sifat keakuan. Tapi, ketika kita menjadi berdua, semua urusan tak lagi soal diri sendiri, seyogyanya sih..apa-apa didiskusikan, dirembuk, dikomunikasikan, karena satu hal, pasti --mau tak mau-- tersangkut paut dengan hal lainnya. Mau gak mau, hal yang menyangkut soal kita, berpengaruh pada soal kami. Itu ketika kita tak lagi sendiri.
Masalahnya... siapkah kamu dengan kondisi itu? kondisi yang lagi-lagi mau gak mau pasti kamu temui. Yang mungkin awalnya tidak menganggu, namun seiring berjalannya waktu menjadi semacam duri dalam daging ? salah satu konsekuensi ketika kita memilih berpasangan alih-alih hidup sendirian. Seperti yg saya bilang tadi -dan saya tegaskan lagi-, semua hal tak melulu soal kamu sendiri saja.
Kamu paham ? ketika saya bilang, "menurut saya, kamu tuh punya pasangan karena kamu mau, bukan karena kamu butuh", kala itu kamu hanya diam saja, kamu ngerti? atau kamu diam karena menghindari perdebatan yang tidak pernah ada jalan keluarnya seperti yg sudah-sudah?.
Saya capek marah-marah, saya udah malas dan gak bersemangat soal apapun yang menyangkut saya dan kamu. Saya pikir...kamu hanya butuh diri kamu sendiri.
Saya gak peduli lagi, sama apa yang terjadi sebenarnya. Saya gak lagi peduli sama apa yang kamu bilang pada mereka, soal kita, saya pun gak peduli sama apa yg kamu bilang ke saya, mana yang saya percayai, mana yang benar, atau apakah semua itu tadi adalah soal yg sama atau tidak.
Ketika saya mulai penuh dengan pertanyaan soal kamu, soal kita, apa masalahnya. saya ingin berlalu, jauh. saya gak merasa punya kewajiban untuk memenuhi tuntutan bercerita meskipun selama ini, itulah yg selalu kamu tuduhkan, bahwa saya terlalu mengeluh pd orang lain soal kita, bahwa saya menjelek-jelekkan kamu.
Kamu gak pernah tahu, bahwa hal yg tampak remeh seperti menunggu itu bisa merusak hari dan perasaanmu. waktu tidak menunggu, ia terus berjalan, dan saya sudah membuang-buang begitu banyak waktu untuk menunggu kamu.
Kini, saya sudah teramat kelelahan, keseringan menunggu, menunggu kamu. saya gak sanggup lagi berkompromi dengan kebiasaan jelekmu yang satu itu, yg kerap dan selalu bikin saya lesu. Saya pun sudah sampaikan, marah pun saya malas, sudahlah...
Kemudian hari ini dan kemarin kamu menghilang, pergi, menjauh, menghindar dalam diam.
Saya ingat kamu teriakkan emosimu lewat sebuah pesan singkat ke ponsel saya dua hari yang lalu. "saya merasa terkekang, saat saya bersama mereka di luaran sana, kamu tau? saya merasa kamu kejar-kejar!"
Saya mengerti. ketika sesuatu harus berakhir, tak perlu pikirkan apapun lainnya. Saya mengerti dengan baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar