Gelapnya langit mempertemukan perempuan dan laki-laki itu di suatu waktu, saling melempar pandang sekilas, si tuan bahkan tidak menyempatkan diri turun dari kuda besi yang ia kendarai, namun si nona tak mau ambil pusing kemudian segera mengambil tempat di bagian belakang jok si tuan. Berdua membelah jalanan malam ditemani angin yang berhembus agresif, obrolan basa-basi menyertai mereka, kaku, berjarak, tidak seperti biasanya. Ada perasaan mendalam ketika perempuan itu memandangi punggung laki-laki di depannya, perempuan itu tersenyum kecil--menyadari riak kecil dalam dirinya. Aku rindu sekali padamu, bisiknya lebih kepada dirinya sendiri.
Ketika keadaan mengharuskan mereka duduk berhadapan, wajah ketemu wajah, tidak mungkin tidak bicara... Meluncur kembali pembicaraan basa-basi dari bibir keduanya, si nona menahan diri untuk tidak kembali ke topik itu, topik lama yang menumbuhkan jarak diantara mereka, susah payah, terpatah-patah, menyeret keduanya ke topik yang semula dihindari. Tapi anehnya kali ini tidak ada argumen, tidak pula emosi apalagi "pakeukeuh-keukeuh", pertanyaan dan jawaban mengalun ringan sesekali terselip sanggahan yang malah membuat si tuan dan si nona tertawa bersama. Beginilah seharusnya. Tidak seperti tiga malam lalu, di tempat yang berbeda mungkin masing-masing dari mereka ingin membanting ponsel dan mengenyahkan keberadaan satu sama lain.
Perempuan itu berhasil. berkompromi dengan hati dan otaknya, ia telah membuat kesepakatan, yang baik.
Waktu perlahan bergesar, si tuan mencoba meraih tangan si nona ke dalam genggamannya, si nona menyambutnya dengan ragu, namun si tuan meyakinkannya dengan genggaman yang erat dan pasti. semua tampak membaik--sesudahnya. Tak mau berpikir yang lainnya... biarkan semua begini dulu saja. (12.02.11)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar